Friend Forever



Cara memicingkan mata sambil berusaha mengeja kata-kata yang ditulis Bu Ratna di papan tulis.
"Na.. Na-ma... Ke.. R-ra.. Ja... An-n," Cara (baca: Kara) lalu menuliskannya di buku tulis. "Pa-pa... Aduh, apaan sih, itu?"
"Hey, kenapa sih?" lengan Gisha menyikut lengan Cara.
"Uh, itu bacanya apa sih? Kok kecil-kecil gitu tulisannya?" orang yang ditanya hanya menggerutu. Cara sebel.
"Oh, yang habisnya nama kerajaan? Itu kan... Iyo, opo toh? O, itu kerajaan Pajajaran. Ya, kerajaan Pajajaran!!" jawab Gisha seraya mengangguk senang.
"Oooo," ujar Cara. "Thanks ya!"
"Sami-sami, Doro..."
"Hahahaha.." tawa keduanya pecah. Ups, mereka kembali menutup mulut ketika mata Bu Ratna tertuju ke bangku Gisha dan Cara. Reputasi mereka masih sama: Noisy Maker. Sementara Tessa, reputasi Si First Ranked nggak akan pernah tergeser.
“Kalian aneh!” kata Tessa ketika ia menghadap kedua sahabatnya itu.
***
Hari Selasa. Dan pelajaran pertama bagi Bu Nuri. Guru Matematika. Bu Nuri berjanji pada murid kelas Tessa agar ulangan minggu lalu dibagi- kan hari ini. Tapi, jadwal itu berubah ketika....
"Pagi anak-anak, kita kedatangan murid baru hari ini. Ya, Mischa, silakan masuk..." semua anak berebut melihat sosok baru yang akan datang ke kelas mereka itu. Kemudian, seseorang gadis dengan langkah malu-malu masuk ke dalam kelas Tessa. Rambutnya panjang bergelombang dan dibiarkan terurai, sementara dia sudah memakai seragam seperti anak-anak lainnya. Matanya lugu, tapi, Tessa merasa ada yang tidak beres dalam diri anak itu.
Gadis itu berdeham sebentar setelah Bu Nuri mempersilahkan dirinya untuk memperkenalkan diri. "H-hai, perkenalkan, nama saya Mischa. Saya berasal dari SMP Mata Hati di Jakarta dan tinggal di Jln. Sumatera no. 19 Surabaya. Terima kasih s-sebelumnya," mata Mischa kemudian berputar kembali pada Bu Nuri.

"Ya, Mischa. Kamu boleh duduk di samping Tessa, ya, di depan bagian pojok kiri itu." ujar Bu Nuri sambil mengambil buku Matematika dan sebuah map di atas meja.
"Maaf Bu kalau saya lancang, tapi, ini tempat duduk Mya yang tidak masuk karena sakit Bu," kilah Tessa. Gisha dan Cara hanya bisa ternganga melihat kelakuan Tessa.
"Tidak apa-apa, Tessa. Setelah Mya masuk, dia bisa mencari bangku lain. Hanya untuk sementara," Bu Nuri tersenyum. Tessa duduk kembali dengan muka masam.
"Aku rasa ada yang nggak beres dengan Mischa," gumam Tessa kepada kedua sahabatnya yang berada tepat satu bangku di belakangnya. Kedua-duanya hanya bisa melongo mendengarkan apa yang berusan diucapkan oleh Tessa.
Pas ketika Bu Nuri akan membagikan ulangan matematikanya, Mischa duduk disebelahnya dengan senyum manis. Tessa membalasnya dengan senyum kaku yang ia punya.
"Hai, boleh kenalan nggak?" gadis itu mengulurkan tangannya yang putih bersih. "Namaku Mischa."


"Tessa." jawab Tessa singkat. Rambutnya sempat terbang saat tangannya menjawab uluran tangan Mischa. Lalu, memusatkan perhatiannya pada Bu Nuri lagi.
"Ya, Tassara Zaira," mendengar namanya disebut, Tessa maju dengan langkah mantap. "Selamat ya."
"Pasti tertinggi lagi," gumam Cara pada Gisha. "Percaya seratus persen!"
Tessa kembali duduk ke tempatnya semula. "Bagaimana?" tanya Gisha. Tessa tersenyum.
"Aku tahu! Tertinggi lagi kan?" tebak Cara. "First Ranked Girl pasti nggak akan ada yang menyaingi!"
“Wah, kamu dapat nilai  tertinggi ya??” sahut Mischa tiba-tiba. Ia mendengar kata-kata Cara. “Selamat ya!”
“Makasih,” jawab Tessa tiba-tiba.
KRIIIINGGG!!!! Bel diseberang koridor kelas menjerit menandakan waktu istirahat telah tiba. Mischa langsung berdiri tegak ketika mendengar bel itu.
“Istirahat ya?” tanyanya kemudian pada Tessa yang sedang mencatat kalimat-kalimat di papan tulis dengan khidmat. Tessa mengangguk tanpa melihat ke arah Mischa. “Istirahat yuk!” Mischa melihat Tessa sudah selesai dengan pekerjaannya. Ia menggandeng tangan Tessa.
“Gish, ngantin yuk!” ajak Tessa pada Gisha yang masih memahami pelajaran barusan.
“Sebentar, aku masih belum paham. Apa sih, bedanya netto sama bruto…” katanya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“O, kalau net---“ sebelum Tessa selesai menjelaskan pada Gisha, Mischa sudah menarik pergelangan tangan Tessa.
“Tess, kamu nggak mau kan, istirahatnya habis sebelum kita masuk ke kelas?” tanyanya dengan nada menuduh kepada Gisha. Dan sebelum Tessa menjawab, ia sudah ditarik keluar kelas oleh Mischa. Tessa hanya dapat mengisyaratkan ‘aku akan jelaskan lagi nanti’ pada Gisha.
Gisha yang menyadari hal itu hanya menunduk sedih. “Tessa mulai berubah.”
***
“Tessa!”
Dibalik pundak Tessa, terlihat Cara yang sedang menyamai langkahnya. Gisha menenteng tasnya karena memang sekarang waktunya pulang.
“Tessa! Kamu mau nggak ikut aku dan Gisha menjenguk Mya?” Tanyanya setelah Tessa menoleh. “Udah seminggu Mya nggak masuk..” Tessa melihat mata Cara menerawang jauh ke depan. Rasanya sulit bagi Cara untuk berbicara pada Tessa. Pada sahabatnya dulu, sebelum Mischa merebut Tessa dari Gisha dan dirinya. Cara mengharapkan jawaban yang diinginkannya.
“Sorry Ra, aku sudah janji kalau mau nonton Alice in Wonderland sama Mischa,” kata Tessa, lalu tersenyum. Mischa lagi, Mischa lagi! Kenapa sejak kedatangan Mischa semuanya jadi berubah? Tessa, Si First Ranked Girl sudah hampir musnah namanya, ditelan Mischa. Mischa, anak orang kaya itu, Si Fashionista itu, Si Miss Perfect itu. Apa yang kurang darinya? Jelas, dia bukan Si First Ranked Girl. Tapi, Tessa hamper-hampir jadi budaknya tiap hari. Oh, Tessa…
Cara tersadar ia harus menjawab pernyataan Tessa dan segera membesuk Mya. Gisha sudah menunggunya dari tadi. “Ohm, nggak apa-apa deh. Nanti aku sampaikan salam dari kamu, ya! Aku duluan.”
“Ya, makasih..” ucapan terima kasih Tessa mengambang tanpa suara. Dia melihat rambut panjang Cara yang semakin menjauh.
***
Esoknya, Gisha bertemu Tessa di taman sekolah. Ini masih jam istirahat, tapi, tidak ada tanda-tanda Mischa. Ia pun berjalan mendekati Tessa yang tertunduk lesu. Ditangan Tessa tergenggam erat sebuah kertas kusut yang basah dan luntur karena air. Gisha duduk disamping Tessa. Pelan-pelan.
“Sa,” panggil Gisha. Tessa sesenggukan. Ia menangis!
Dari tadi pagi, sesudah jam pelajaran pertama, Gisha dan Cara sama sekali tidak melihat Tessa apalagi Mischa di dalam kelas. Mereka kira, Tessa terlambat atau tidak masuk sekolah.
Kepala Tessa miring menghadap Gisha. Matanya sembab. Matanya merah. Ada apa? Tanpa sepatah kata pun, gadis berambut lurus itu menyerahkan kertas lecek itu kepada Gisha. Dengan bingung, Gisha akhirnya membaca isinya.
“A-aa-ap..??” kertas itu ulangan Ekonomi dua hari yang lalu. Sebuah coretan merah bertuliskan angka 59,5 itu berada di paling atas. Mata Gisha membulat. Ini pasti bukan Tessa! Tapi, nama yang ditulis di pojok kiri atas kertas ulangan itu seolah meyakinkan dirinya.
“Mischa menukar kertas jawabanku dengan miliknya..” Gisha mengeja kata itu lambat-lambat karena Tessa berbicara dengan menangis. Barulah ia tertegun. Benar,  ada yang ganjil dengan kertas ulangan itu. Nama dan tulisannya! Tulisan Tessa nggak mungkin seperti ceker ayam seperti itu. Mischa memanfaatkannya.
Gisha ingat, dalam memorinya seminggu yang lalu, ia pernah meyakinkan Tessa kalau Mischa adalah anak berandalan di sekolahnya yang lama. Kakak sepupunya sendiri sekolah disana dan kenal Mischa. Ia juga pernah dengar kabar simpang siur yang katanya, Mischa masuk ke sini karena tidak naik kelas. Seharusnya, Mischa kelas 8 tahun ini. Namun, Tessa tidak percaya itu semua. Ia terpengaruh gaya hidup Mischa saat itu: mejeng, belanja sepuasnya, dan pergi ke acara yang taidak penting sama sekali.
Kini, Tessa percaya. Setelah semua yang dilakukan Mischa. Sahabatnya terlantar gara-gara Mischa. Semua gara-gara Mischa!
“Tess, ada satu hal lagi. Sebenarnya, ini dari dulu, tapi, aku lihat kamu terus sama Mischa, jadi, aku nggak berani bilang ini ke kamu…” ujar Gisha lembut. “Mya meninggal, Sa..”
Mata Tessa melotot. Air matanya malah semakin banyak berjatuhan. Gisha memeluknya dari samping.
“Salahku, Gish, salahku!” isak Tessa. Ia meninggalkan Mya saat dirinya pergi nonton dengan Mischa.
“Nggak ada yang salah Tess!” jawab Gisha. Tenggorokannya kering. “Mya sudah memaafkan kamu.”
“Kamu yang seharusnya minta maaf atas dirimu sendiri. Berjanji nggak akan salah memilih, karena sahabat akan ada selamanya. Kamu masih punya cita-cita, raih cita-cita itu. Jangan hanya menghabiskan hidupmu dengan hal-hal yang nggak berguna.”
Ya, Tessa masih punya cita-cita. Ia masih punya sahabat yang selalu ada. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Geguritan Bahasa Jawa - "Banjir"

Contoh Geguritan Bahasa Jawa - "Sekolahku"

TESTIMONAL : KISAH NYATA ORANG YANG MEDAPAT SEMUA IKAN LEGENDARIS DI HARVEST MOON BACK TO NATURE